Minggu, 10 Oktober 2010

Musibah Bagi Fernando

Hujan rintik mengguyur, membasahi bumi. Rumput dan dedaunan di depan rumah mulai bersemi, menghijau kembali. Di sebuah rumah dimana keluarga Fernando tinggal, seorang gadis kecil bermain hujan di halaman rumahnya, rumah sederhana berpagar kayu mahoni. Perhatiannya tertuju pada daun-daun bunga mawar yang basah tersiram hujan. Kemudian ia beralih ke pohon talas di samping selokan. Ia menggoyang-goyangkan daun talas itu,menyebabkan butiran-butiran air berlarian tak tentu arah.
Ia sangat menikmati rintik hujan di sore itu. Sampai saat ibunya memanggil dari dalam rumah.
“Nikita,masuk nak! jangan hujan-hujanan,nanti kamu sakit lho!”
”iya Bu,” jawab gadis kecil itu sambil berlari masuk ke dalam rumah.
Sampai dalam rumah ia memperlihatkan daun talas yang dipetiknya kepada ibunya,memperlihatkan air yang tidak bisa melekat.
”Kenapa bisa begitu Bu?”
”Dengar anakku yang manis, Tuhan menciptakan makhluknya berbeda-beda satu sama lain. Masing-masing mempunyai sifat dan keunikan tersendiri, begitu juga dengan daun talas itu, mempunyai sifat yang membuatnya unik dan berbeda dari daun yang lain. Kamu paham kan, semua itu adalah tanda-tanda kebesaran Tuhan, karena itu kita harus taat kepadaNya dan bersyukur atas segala karuniaNya.”
***
Diluar hujan telah reda, gadis kecil mengintip dari balik jendela, mengagumi indahnya pelangi yang terpatri diangkasa, segera ia ambil buku gambar, kemudian dengan seksama menggambar setiap detil yang dilihat dan mewarnainya.
Saat makan malam gadis kecil itu memamerkan gambar pelangi kepada ayahnya.
”Wah bagusnya gambarmu, lihat nih Bu gambar anak kita. Nikita memang punya bakat melukis.”
”Siapa dulu dong ibunya,”tukas ibu menimpali.
Nikita sangat senang mendapat pujian dari ayahnya. Bahkan ayahnya berjanji akan membelikan Nikita pensil warna sebagai hadiah.
”Setelah makan belajar ya!, PRmu sudah kamu kerjakan belum?” perintah sang ayah.
***
Saat gadis kecil sedang belajar, terjadilah perbincangan antara Fernando dan isterinya. ”Bu, melihat gambar anak kita, aku baru sadar kerusakan hutan di sisi bukit sudah sangat parah. Nikita menggambar kerusakan itu dengan sangat jelas. Yah, semua itu akibat maling-maling sialan, yang membabat habis pohon-pohon di bukit itu. Saat pengusaha bejat dari jakarta bermain dengan aparat, sehingga bisa menjarah kayu di hutan lindung itu.”
Ibu dengan antusias mendengarkan suaminya berbicara. Fernando melanjutkan, ”Beberapa minggu yang lalu kampung kita dilanda kekeringan, sumur-sumur penduduk mengering, aku terpaksa menambah kedalaman sumur kita, diperdalam tujuh meter bu. Ibu ingat tetangga-tetangga kita yang antri mandi, mencuci disumur kita. Padahal ibu tahu dulu disini air bersih berlimpah, waktu kecil aku sering mandi di sungai samping sawah. Airnya jernih, sampai terlihat jelas ikan-ikan yang berenang di dasarnya. Tapi sekarang sungai itu keruh, banyak sampah, kalau kemarau kering, kalau hujan meluap. Aku takut bu, saat alam sudah tak lagi bersahabat, saat lingkungan dirusak oleh tangan-tangan jahil manusia. Aku takut bencana akan datang bu. Akhir-akhir ini aku sering bermimpi, mimpi buruk. Kampung kita terkena air bah, banjir bandang yang membawa lumpur erosi hulu. Air menerjang semua yang menghalangnya. Pepohonan besar kecil tercabut dari akarnya, hanyut. Menghantam tembok bangunan dan merobohkannya. Terdengar tangis bayi dan anak kecil yang terpisah dari orang tuanya. Sungguh mengerikan bu.”
”Yah, aku tahu ketakutan bapak,sebagai anggota Lembaga Pemerhati Lingkungan tentu bapak tahu betul akan dampak kerusakan lingkungan. Kita berdoa saja pak agar tidak terjadi apa-apa.”
”Bu, proposal bantuan dana yang aku ajukan bulan lalu disetujui,aku akan pergi ke Jakarta, mungkin sekitar tiga atau empat hari, menghadiri undangan seminar lingkungan hidup, kantor menugaskanku untuk presentasi disana mengenai kerusakan hutan lindung di bukit itu.” Fernando terdiam sejenak, menghela napas kemudian melanjutkan:
“Padahal sebenarnya kalau kita bisa dengan cerdas dan bijak mengelola lingkungan ,tak perlu ada program konservasi, rekonstruksi atau rehabilitasi. Tapi sudah terlambat bu. Aku harap nanti pemerintah dan beberapa sponsor mau membiayai proyek rehabilitasi.”
***
Maka berangkatlah sang suami. Sesampainya di Jakarta, Fernando terkejut, Jakarta sekarang lebih kacau. Sudah jauh berbeda sejak sepuluh tahun yang lalu, saat ia menamatkan kuliah S1nya, Jakarta sekarang lebih ruwet, sumpek, macet dimana-mana, polusi, banyak gelandangan dan semakin banyak pengemis.
”Lha nggak banjir gimana, semua tanah di beton, air hujan nggak bisa meresap ke tanah, langsung mengalir ke selokan, menuju sungai, terus ke laut. Sayangnya, selokan mampet, sungai sudah jadi kampung, banyak sampah, jadinya nggak muat menampung air. Semakin banyak Mall, apartemen, perumahan elit dibangun , namun semakin banyak pula kolong jembatan dan pinggiran sungai jadi deretan rumah gubuk semi permanen.
Jakarta tinggal menunggu waktu untuk tenggelam.” oceh supir taksi yang ditumpangi Fernando
***
Beberapa hari berlalu. Jam menunjukkan pukul 09.00 malam, diluar hujan. Terdengar dering telepon dirumah Fernando.
”Bagaimana kabarmu Bu?” sang suami menelpon
”Alhamdulillah baik pak, bagaimana presentasi bapak disana? terus kapan pulang?”
”Sukses bu, aku berhasil meyakinkan lembaga donor luar negeri untuk memberi dana rehabilitasi. Alhamdulillah, mereka menyanggupi lima milyar dollar. Kerjaan sudah kelar jadi aku bisa pulang besok. Nikita sudah tidur ya?”
”Sudah, ia sudah tidur sejak jam delapan tadi. Jangan lupa ia minta dibelikan oleh-oleh!”
”Ya bu.aku sudah beli oleh-oleh buat Nikita. Terus kalau ibu minta apa?”
”Kalau aku sih nggak minta apa-apa pak, cukup mas selamat sehat walafiat sampai rumah”
”Beneran nih Bu, di Tanah Abang baju murah-murah lho?, ya sudah kalau begitu. Ibu hati-hati dirumah ya!” pesan sang ayah sambil menutup telepon.
***
Diluar rumah keluarga Fernando hujan masih mengguyur. Sudah tiga hari tiga malam hujan terus menerus mengguyur kota di kaki gunung itu dan belum ada tanda-tanda akan berhenti.
Suara kilat menyambar-nyambar, menggelegar, angin berhembus kencang. Banyak pohon tumbang, listrikpun sudah padam semenjak kemarin. Membuat suasana mencekam. Sekitar pukul satu dini hari, sang ibu terjaga. Suara kentongan bertalu-bertalu, terdengar orang-orang berteriak . ”Banjir, banjir, air bah datang.” Diluar rumah air sudah mencapai selutut, dan sekarang air mulai masuk kerumah. Sang ibu segera membawa Nikita pergi menyelamatkan diri.
”Semuanya ngungsi ke SD Wonokromo, disana aman dari air. Ayo cepat air semakin meninggi” teriak pak RT.
Hujan masih deras, suasana sangat menakutkan, aliran listrik mati. Semua penduduk menyelamatkan diri. Mereka berlarian ditengah banjir, tanpa bisa menyelamatkan barang-barang berharga mereka. Segera saja para pengungsi memenuhi Sekolah Dasar Negeri 1 Wonokromo. Bangunan tersebut memang berada di tempat yang agak tinggi, jadi aman dari genangan air.
Pengungsi di SD tersebut didominasi wanita, anak-anak dan para lansia, sedangkan para pemuda dan bapak-bapak berjaga-jaga mengawasi kalau-kalau ada pihak yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Sebagian membantu evakuasi warga. Beberapa pemuda menyusuri kampung dengan perahu karet mencari warga yang masih terjebak dalam banjir.
Suasana dalam pengungsian riuh, ricuh. Semua membicarakan datangnya bencana yang begitu tiba-tiba, yang belum pernah terjadi sebelumnya. Semua orang saling menyalahkan satu sama lain, saling menuduh penyebab terjadinya bencana. Sebaliknya mereka juga saling menutupi kesalahan masing-masing, seakan-akan mereka orang yang suci tak berdosa.
Di tengah kekisruhan itu,tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari bukit di belakang SD. Braagh....,srukh-srukh....,gluuuur... suara yang mengejutkan orang-orang di pengungsian. Terdengar orang-orang yang berada diluar berteriak, ”tanah longsor, bukit ambruk”. Seketika suasana menjadi kacau, semuanya panik. Para pengungsi segera beranjak lari keluar, menjauhi bukit. Namun sayang, seketika runtuhan tanah bukit segera mengubur SD itu, lebih dari dua ratus orang tejebak, terkubur hidup-hidup. Sebagian besar adalah lansia,wanita dan anak-anak.
Manusia-manusia yang selamat dari longsor berteriak histeris, mereka seakan tidak percaya atas kejadian mengerikan yang baru saja terjadi.
”Duh Gusti, dosa apa ini Gusti Allah”. Teriak seorang bapak sambil menangis mencari keluarganya.
”Kita harus menjauhi bukit, masih ada kemungkinan longsor lagi,disini masih belum aman. Evakuasi korban dilakukan besok saja. kita sekarang ke tempat yang aman dulu” Pekik pak lurah memperingatkan warganya.
***
Keesokan harinya hujan reda, air beranjak surut. Lokasi bencana telah ramai dengan para reporter berita dan para kuli tinta. Evakuasi korban dilakukan oleh warga yang selamat dibantu anggota TNI dan sukarelawan. Berita bencana dengan cepat menyebar sampai ke Jakarta. Fernando terkejut dengan berita bencana banjir dan longsor di kampungnya. Dia mencoba menghubungi keluarganya, namun ternyata jaringan telepon ke daerah bencana telah terputus. Ia memutuskan segera pulang pagi itu juga. Sepanjang perjalanan pulang tak henti-hentinya dia berdoa, memohon keselamatan anak istrinya. Resah dan gelisah menyesak di dada, berkecamuk di hati. Membayangkan terjadi sesuatu yang buruk terhadap keluarganya. Waktu tempuh pesawat yang hanya satu setengah jam terasa sangat lama, membuat batinnya tersiksa.
Sesampai di tempat bencana, segera saja ia menuju ke pos informasi, menanyakan korban selamat. Ia berdesak-desakan melihat daftar pengungsi yang selamat, kecewa tak ada nama istri dan anaknya disitu, kemudian ia berjalan dengan langkah berat menuju tempat evakuasi korban. Di tempat itu terlihat alat-alat berat sedang menggali longsoran tanah mencari jasad korban. Terlihat beberapa mayat korban yang sudah berhasil di evakuasi terlihat sangat mengenaskan. Memilukan.
Fernando memeriksa satu persatu mayat-mayat itu, memastikan apakah termasuk anggota keluarganya. Hingga pandangannya tertuju pada dua sosok mayat. Seorang anak yang memeluk ibunya.
Taaaaaaaaaaaar!!!!... Rasanya seperti disambar petir saat ia mengetahui bahwa kedua jasad itu adalah anak dan istrinya. Badannya goyah. Ia hampir jatuh kalau tidak dipegang seorang sukarelawan. Sebelum akhirnya dia histeris dan pingsan.
”Innalilahi wa inna ilaihi roji’un”. Suara yang terdengar dari mulutnya sesaat setelah ia tersadar.
”maafkan aku bu, seharusnya aku bisa mencegah bencana ini. Maafkan aku, aku tidak berdaya bu.”
”Nikita, anakku. Maafkan ayah nak, ayah terlambat, musibah kadung datang.
Nikita, bukankah kau senang menggambar nak, bahkan saat ini kau masih menggenggam buku gambarmu. Pasti kau tidak sabar ingin menunjukkan gambarmu padaku. Ayah sudah membelikanmu pensil warna kualitas terbaik, yang paling mahal dari yang ada di PS nak. Ayah menepati janji. Jadi jangan marah Nikita. Putriku sayang.”
***
Tangerang,
2007
ttd
Pamelih Wongsoatmojo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar