Sabtu, 09 Oktober 2010

Cerita Kereta Jakarta

“Hidup ini panggung sandiwara”.
Jika anda sudah hidup diawal tahun sembilanpuluhan, anda pasti tidak asing dengan petikan lirik lagu diatas. Tapi, pernahkah anda merasa bahwa kita memang hidup dalam sebuah panggung raksasa. Sebuah sandiwara dengan semua ironi, romantika atau tragedi yang menghiasi. Mau tidak mau kita pun terseret kedalam adegannya. Tetapi apakah kita akan menjadi tokoh protagonis ataukah antagonis:-sebagai pahlawan atau bajingan ataupun hanya sekedar memilih menjadi pemeran pembantu abu-abu, itu pilihan. Panggung kehidupan itu ada dimana-mana, salah satunya adalah dalam Kereta Ekonomi Jabodetabek.
***
KRL terus melaju melintas rel yang sudah tua , terlihat gerbong-gerbongnya yang rapuh. Suara dalam gerbong bergemuruh layaknya pasar yang lusuh.
Seperti biasa penjaja tahu sumedang berjalan dari gerbong ke gerbong dengan kereta dorong yang diatasnya terdapat keranjang berisi penganan khas dari kedelai yang berprotein tinggi. Seperti biasa penjual rokok menawarkan dagangannya kepadaku. ”Rokok mas”, ujar pria yang tampak masih muda, mungkin usianya sekitar dua puluh tahunan. Aku acuh,kemudian dia meneruskan “mijon mas” aku pun menjawab “nggak bang udah bawa” kataku sambil menunjukkan minuman isotonic, yang oleh para pedangangnya dengan seenak lidah disebut mijon. Aku memang terbiasa membawa minum sendiri walaupun isinya hanya air putih biasa tapi dengan dikemas botol bermerk cukup ampuh untuk menipu pedagang asongan.
Seperti biasa pengamen berdatangan sambung menyambung.Dengan instrument sederhana mereka membawakan lagu-lagu yang sedang hits. Mulai dari Dewa, Radja, Kangen band sampai lagunya Bon Jovi atau The Beatles. Kali ini datang tiga orang pengamen, ternyata mereka satu kelompok. Masing-masing mempunyai tugasnya masing-masing, mereka masih muda-muda, tentunya. Ada yang memainkan gitar, satu orang memainkan drum, ”ah bukan” lebih tepatnya mini drum. Satu lagi yang tampak paling muda, rambutnya berwarna merah. entah apakah karena sering terpanggang sinar matahari atau ia sengaja mengecatnya begitu. Penampilan kelompok pengamen ini cukup menghibur meskipun suara gitarnya kurang bagus karena senar gitarnya pasti sudah lama tak diganti, tapi suara vokalisnya boleh juga. Tak kusangka Indonesia begitu kaya akan seniman berbakat. Setelah membawakan tiga buah lagu nan cantik mereka pun berlalu. Seperti biasa, aku enggan memberi sekeping uang logam bagi mereka.
Beberapa saat kemudian datang lagi seorang pengamen, ia seorang laki-laki berambut gondrong ”oh,bukan” dia seorang waria. Instrumen yang dibawanya sederhana namun lebih memanfaatkan teknologi, ia membawa tape recorder dengan microphone yang listriknya disuplay dengan baterai. Dia berkaraoke selayaknya seorang biduan orkes dangdut. Sambil bernyanyi ia menghampiri satu persatu penumpang yang duduk digerbong itu, tangan kirinya memegang microphone,sedangkan tangan kanannya menyodorkan kantong bungkus permen, meminta balas jasa. Saat tangannya yang besar nan kokoh itu menhampiriku, dengan cepat aku memasukkan sekeping uang logam lima ratusan. Aku trauma jika bertemu dengan waria, bencong ,banci, transsexual atau apalah orang menyebutnya.
Kisahnya begini waktu itu aku sedang dalam perjalanan ke Solo dengan menggunakan kereta ekonomi Bengawan. Waktu sampai di Brebes datang bencong mengamen. Tampangnya sangar, walaupun sudah dimakeup dengan bedak dan lipstik, tetap sangar, masih jelas tampak raut muka seorang bapak-bapak. Setelah menyanyi ia meminta uang sekedarnya kepada para penumpang termasuk kepadaku. Sialnya waktu itu aku tidak punya uang kecil, yang ada hanya lembar sepuluhribuan, yang tentu saja aku sayang untuk memberikannya. Saat waria itu menghampiriku, aku mengangkat tanganku sambil menunjukkan telapak tanganku pertanda aku tidak punya uang. Namun dengan semena-mena tangan waria nan berotot itu malah mencolek-colek tanganku. Dia juga memencet hidungku dan mencubit pipiku, sambil berucap “ih ganteng, pelit amat sih nek, gemes…gemes….iih!!!”. Sejak saat itu aku jadi parno kalau bertemu mahluk seperti itu. Saat sampai dirumah kuceritakan kejadian ini kepada saudara-saudaraku. Eh,mereka malah tertawa. Apanya yang lucu, batinku. Sebagian menasehatiku untuk lebih dermawan.” makanya le , kalau pergi naik kendaraan umum, persiapan bawa duit receh yang banyak” kata Pakde menasehati.
***
Kereta ekonomi jabodetabek jurusan Stasiun Kota- Bekasi telah sampai di Stasiun Manggarai, seperti biasa para penumpang ada yang naik dan ada yang turun, kulihat dipintu sesosok pria memakai baju lengan panjang warna biru muda, dengan celana hitam. Penampilannya seperti seorang eksekutif muda, umurnya pastilah sekitar dua puluh lima tahunan. Ia memandang sekeliling mencari tempat duduk yang kosong, sebelum akhirnya memutuskan duduk disebelahku. “Permisi Adek” ujarnya sopan

“ya silahkan” jawabku sambil bergeser sedikit kesamping.
“Mau ke mana adek” sapanya ramah kepadaku, walaupun sekedar basa-basi tapi senyumnya menunjukkan keakraban yang menyenangkan.
“bekasi “ jawabku singkat sambil tersenyum.
“wah kebetulan saya juga mau ke bekasi juga” ujarnya
Perbincangan kami terputus karena ada pengamen yang lewat dan meminta uang. Kali ini pengamennya seorang anak kecil mungkin masih SD. Lelaki sebelahku memberikan selembar uang sepuluh ribu rupiah padanya, sementara aku hanya seratus rupiah.
”Wah Abang baik banget ya! sepuluh ribu untuk satu pengamen” pujiku padanya.“ yah gimana lagi, aku kasihan sama mereka, adik tahu nggak kenapa ada banyak pengamen, pengemis dan pedagang asongan?”. Belum sempat aku menjawab dia melanjutkan. ”pemerintah belum bisa memberikan lapangan kerja di sektor formal, ya gitu jadinya” kemudian ia melanjutkan “Salah siapa kalau jadi banyak pengangguran lalu karena perut lapar mereka nekat jadi rampok atau copet? masih bagus kalau mereka masih mau usaha, jadi pedagang asongan, ngamen kek”.dia menghela nafas sebentar kemudian melanjutkan, “Anggota DPR dan pejabat minta naik gaji dikasih, tapi kalau buat anggaran pendidikan, kesehatan sama kesejahteraan rakyat bilangnya nggak ada duit, dasar brengsek.”
Anjrit, berat juga tuh ngomongnya. Dari omongannya terlihat kalau dia berpendidikan tinggi, sedangkan dari nada bicaranya terlihat ia sangat kecewa pada pemerintah.
Kereta yang aku tumpangi sudah memasuki Stasiun Jatinegara, kereta berhenti untuk menurunkan dan mengambil penumpang. Di luar kulihat KRD juga berhenti untuk mengambil penumpang, sepertinya kereta itu akan menuju Tanah Abang. Banyak penumpangnya berada diatap gerbong, padahal kulihat didalam gerbong masih kosong, masih ada tempat walaupun berdiri. Entah kenapa mereka nekat dan berpikiran sempit seperti itu, sepertinya mereka sudah tidak sayang lagi pada nyawanya atau sudah jenuh menghirup udara. Aku pernah bertanya kepada beberapa dari mereka, ada yang bilang lebih seger kalau diatap, sebagian bilang kalau diatap nggak usah beli tiket. Padahal harga tiket kereta ekonomi jabotabek cuma Rp 1500,00.
***
Gerbong yang aku tumpangi sudah mulai penuh. Kulihat seorang ibu-ibu tergopoh-gopoh membawa banyak barang belanjaan. Pasti dia habis berbelanja di Pasar Jatinegara, pikirku. Kulihat dia sedang mencari tempat duduk.
“Silahkan duduk Bu” kataku sambil berdiri memberi tempat duduk padanya. Ibu yang satu ini bertubuh agak gemuk. Umurnya sekitar empat puluh lima tahunan. Dia memakai baju biru lengan pendek dipadukan dengan rok hitam panjang. Terlihat sangat pantas dia memakainya. Ah, aku jadi teringat ibuku, wanita paling baik hati didunia, menurutku.
Kereta kembali berangkat,dengan muatan yang padat, gerah pun terasa sangat, perlahan panas terasa menyengat. Ternyata enak juga berdiri, walaupun pandangan keluar jadi terbatas karena sudut pandang ke jendela jadi terhalang.Tapi tak apalah, lagipula tidak ada pemandangan bagus. Sepanjang perjalanan yang ada hanya rumah-rumah kumuh terbuat dari seng atau kardus bekas. Kotor, semrawut, kumuh. Ini adalah pemandangan kontras dibalik kemegahan kota metropolitan Jakarta.
Kereta akhirnya sampai di tujuan terakhir, Bekasi. Saat kereta berhenti, para penumpang mulai keluar gerbong masing-masing. Aku segera melangkah keluar stasiun, menuju halte menunggu angkot yang akan mengantarkanku ke rumah Paman. Di sebelahku ternyata berdiri ibu yang tadi kupersilahkan duduk ditempatku. ”Lagi nunggu angkot juga bu”sapaku berbasa-basi dengannya. ”Oh,nggak Dek, aye lagi nunggu laki ane, biasanye sih laki ane yang jemput” jawabnya dengan logat betawinya yang khas.
“Tuh dateng” kata ibu itu sambil menunjuk pria berjaket kulit hitam mengendarai motor bebek buatan jepang. ”Barangnya taruh depan aja pak” suruh ibu itu pada suaminya.
“Loh gelang yang biasa kamu pakai mana, kok nggak ada, kalungmu juga??” tanya bapak itu pada istrinya heran. ”Waduh… bujubuneng, astagfirullah….gelang, kalung ame dompet aku kasih ke abang tadi” jawab si istri. ”Busyet , punya bini satu tingkahnye kok ade-ade aje, abang yang mana lagi ? tanya suaminya lagi. ”Tadi yang duduk di sebelah ane, orangnye sih gagah, tampangnye sih kayak orang kantoran gitu, pakai baju biru muda. Sompret, kok aku jadi linglung ngasih gitu aja ke dia”
Suasana di halte jadi ramai, hingga ada yang nyeletuk ”Wah ibu kena hipnotis tuh, lapor polisi aja Bu ?”
***
Dari deskripsi yang diberikan ibu itu aku tahu kalau pelakunya adalah orang yang sempat duduk disebelahku, sempat juga ngobrol denganku tadi .Tapi dari penampilannya aku sungguh tidak menyangka kalau dia penjahat. Aku termenung, mencoba berpikir dan hanya bisa terpana tak percaya. Aku periksa dompetku, uang enam belas ribu lima ratus masih ada, surat-surat lengkap. Aku cek isi tasku: buku, ipod, handphone, minyak gosok masih utuh. Alhamdulillah.

Jurang Mangu, 2008
ttd
Pamelih Wongsoatmojo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar