Rabu, 25 April 2012

Renungan Hujan

Selingkuh adalah penistaan terhadap harapan, suatu aniaya kepada setia„, belajarlah kepada hujan yg tak kunjung reda, setia bertahan menemani hati yg tak terjaga

Sabtu, 26 November 2011

Hujan

Bau tanah basah sehabis hujan sore itu
Tanah merekah gersang tandus tinggal kenangan
Untuk datang kembali sehabis musim layangan

Rabu, 03 Agustus 2011

Jhon Lie

Matahari baru saja terbenam saat sebuah kapal hitam menyelinap keluar dari pelabuhan kecil di Phuket, Thailand. Kapal motor berwarna hitam itu tak menyalakan lampu. Di buritannya berkibar bendera Merah Putih.

Di belakang kemudi, berdiri kapten kapal John Lie. Siapakah dia?

John Lie adalah sosok legendaris dalam organisasi penyelundup senjata yang terentang dari Filipina sampai India. Jaringan ini punya kantor rahasia di Manila, Singapura, Penang, Bangkok, Rangon dan New Delhi.

Untuk mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia yang masih sangat muda, kepemilikan senjata api adalah hal mutlak. Bahkan dalam perjanjian gencatan senjata Agresi Militer Belanda I, Perdana Menteri Hatta menegaskan bahwa gencatan senjata tidak termasuk impor dan ekspor senjata oleh Republik.

Belanda tetap memberlakukan blokade terhadap Indonesia dalam rangka menghalangi kemerdekaan bekas jajahannya. Menyiasatinya, senjata diperjualbelikan dengan menembus blokade Belanda itu. Dari sanalah karier penyelundup John Lie mencapai puncaknya. Meskipun Republik muda itu tak punya dana, Lie berhasil mendapatkan senjata dengan cara barter dengan hasil bumi.

Menurut buku “The Indonesian Revolution and The Singaporean Connection”, harga senjata bervariasi. Tahun 1948, penyelundup menjual dua karabin dan ribuan magasin dengan bayaran satu ton teh. Satu senapan mesin dan ribuan magasin dihargai 2,5 ton teh, enam ton teh bisa digunakan untuk membeli enam senjata anti pesawat udara beserta ribuan magasinnya.

John Lie adalah legenda. Menurut laporan majalah Life yang terbit pada 26 September 1949, kapal Lie yang panjangnya 110 kaki (34 meter) selalu lolos dari patroli Belanda. Mengingat kapal itu tak dilengkapi senjata, meloloskan diri bukan perkara mudah. Kapal kerap dikejar sepanjang Selat Malaka, tak jarang dibombardir dengan peluru dan bom. Empat kapal lain yang sejenis telah dihancurkan Belanda.

Kapten Lie yang saat itu berusia 39 tahun, punya siasat. Kapal hitam dengan nomor registrasi PPB 58 LB itu disembunyikannya di teluk-teluk kecil sepanjang Sumatera dengan ditutupi dedaunan. Lie dan krunya lalu menunggu dalam diam hingga kapal dan pesawat Belanda menghentikan pencariannya.

Lie bergerak dengan bantuan belasan krunya, semuanya anak muda dengan usia rata-rata 21 tahun. Mereka bekerja tanpa dibayar demi patriotisme kepada Republik Indonesia. Mereka bolak -balik membeli senjata, dan menukarnya dengan hasil bumi, seperti teh, karet dan kopi.

John Lie adalah penganut Kristen yang taat. Dalam misinya dia selalu membawa dua Injil. Satu berbahasa Inggris dan satu Belanda. Meski demikian dia tak pilih-pilih; sering juga dia memasok senjata bagi para pejuang Muslim di Aceh.

Kepada wartawan majalah Life, Roy Rowan, Lie menyatakan sumpahnya "menjalankan kapal ini untuk Tuhan, negara dan kemanusiaan." Cita-citanya hanya satu: mengubah Indonesia yang saat itu adalah hutan belantara, menjadi taman surga. Menurutnya, tugas mengubah Indonesia menjadi surga adalah takdir Tuhan untuknya.

Pada Desember 1966 Lie mengakhiri kariernya di TNI Angkatan Laut dengan pangkat terakhir Laksamana Muda. Sebelum itu, pada Agustus 1966 dia mengganti nama menjadi Jahja Daniel Dharma. Lie meninggal karena sakit pada 27 Agustus 1988.

Tahun 2009, 21 tahun setelah kematiannya, John Lie dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Gelar pahlawan nasional pertama bagi pejuang keturunan Cina.

diambil dan dikisahkan sepenuhnya dari http://id.berita.yahoo.com/john-lie--menyelundupkan-senjata-untuk-republik.html

Sabtu, 11 Juni 2011

Alehandro and Zenovia

Penampilannya tegap, leher lurus dan tebal, badan panjang, ekor lebat dan suaranya lantang. Paruhnya lengkung lancip, warna bulunya merah kecoklatan, dengan leher dan ekor berwarna kuning keemasan. Pemiliknya yang tidak lain Pak Dheku sendiri menamainya Alehandro.

Sebagai pecinta binatang, Pak Dhe merawat Alehandro dengan telaten. Selain pakan ayam pada umumnya, Alehandro juga diberi asupan gizi dari telur, madu dan jamu khusus yang diracik Pak Dhe sendiri. Tak hanya itu, setiap hari Alehandro juga menjalani perlakuan khusus. Pagi-pagi sekali dilap dengan air hangat, kemudian dijemur dari pagi hingga mentari agak tinggi. Sore hari diumbar, dibiarkan bebas sekitar dua atau tiga jam untuk kemudian dijantur (dipegang bulu ekornya dan diangkat sekitar setengah meter), semua itu dilakukan untuk menjaga fisik, stamina dan daya tahan Alehandro.

Maka, dengan semua perlakuan itu, jadilah Alehandro sebagai petarung yang tangguh lagi perkasa. Semua lawan dilibasnya, dia adalah jawara di dunianya. Dunia sabung ayam. Namanya sudah kesohor kemana-mana, bahkan, suatu kali, Bupati dari negeri seberang bertandang menantang. Tak ayal, waktu itu kalangan ramai sekali, penuh dengan warga desa yang berbondong-bondong menonton.

Dan saat itu Alehandro bertarung bak kesetanan. Ia bergerak sangat lincah, membuat lawannya bingung dan kehabisan tenaga. Saat lawan mulai lelah dia mulai permainannya. Serangan pertama, - saat lawan coba memukul dia berhasil menghindar, sedikit gerakan memutar, lalu dengan cepat melabrak dari samping, jebret !!, 1-0 untuk Alehandro. Namun lawannya membalas, sial bagi Alehandro, lehernya terkena pukulan lawan, sedikit berdarah, skor satu sama. Pukulan itu malah semakin membuat Alehandro bergairah, “lawanku kali ini tangguh juga”, pikirnya!!!, memaksanya untuk mengeluarkan seluruh kemampuan. Serangan kedua, - menggunakan tehnik kunci pukul, Alehandro berhasil menindih kepala dan leher lawannya, tehnik ini mengunci gerakan kepala lawan, dan kemudian dengan pukulan serong, Alehandro berhasil memukul leher lawannya, mengakibatkan leher lawannya bengkak dan berdarah. Skor 2-1 untuk Alehandro. Rupanya pukulan telak itu membuat lawannya ciut, sebaliknya Alehandro semakin percaya diri. Hingga akhirnya serangan ketiga, - menggunakan teknik pukulan dagu atau janggut. Sebelum melancarkan pukulan, Alehandro memainkan kepalanya di bawah leher lawan. Kemudian di bawah dagu lawan, ia melepaskan pukulan yang sangat keras, dengan tehnik ini kekuatan pukulan menjadi dua kali lipat karena momentum dari tenaga lawan yang bersiap memukul juga terlepas, jedarrr !!. Pukulan tersebut membuat lawan terdiam kaku, sebelum akhirnya jatuh terkapar, KO. Dan sorak sorai penonton riuh membahana. Alehandro mengepak-ngepakkan sayapnya kemudian berkokok panjang dan lantang. Rupanya Sang Bupati dari negeri seberang sangat terpesona dengan Alehandro, dan hendak menawarnya, Alehandro dihargai olehnya 35 juta (belakangan bupati ini terjerat kasus korupsi dan kabur ke Zimbabwe, hehehe). Pak Dhe tersanjung, namun karena sayangnya pada Alehandro. Tawaran tersebut ditolaknya.

Tidak hanya jantan di kalangan, Alehandro juga jantan di kandang. Alehandro sudah punya bini, seekor babon, Zenovia namanya, berdua mereka hidup bahagia dan dikaruniai empat ekor anak ayam yang lucu-lucu, 2 jantan, 2 betina. Sebenarnya Zenovia bertelur 12 butir, namun yang 6 butir sudah didadar oleh Bu Dhe. Nah dari enam yang dierami, menetaslah empat ekor itu.

Namun akhirnya, semua kebanggaan itu berakhir, kehebatan dan ketangguhan Alehandro hanyalah tinggal cerita. Alehandro mutung.

Usut punya cerita, sebab mutungnya Alehandro adalah sebagai berikut:
,,,jadi waktu itu, puteranya Pak Dhe yang masih SD, Nichola namanya, mau ada acara Maulid Nabi di sekolahnya. Sebagaimana yang sudah-sudah biasanya acara tersebut diisi dengan pengajian, kemudian diakhir acara setelah doa dari kyai, para siswa makan bersama-sama bekal yg dibawa sendiri-sendiri dari rumah. Jadi para siswa diwajibkan mbontot. Nah, masalahnya Nichola mau lauk yang enak dan cenderung mewah untuk bekalnya nanti. Malu ma teman-teman katanya (biasanya para murid saling berbagi lauk satu sama lain, dan bagi kami yang orang biasa dan hanya bisa makan tahu tempe sehari-hari, daging merupakan lauk yang tergolong mewah). Maka dari itu, sebagai seorang ayah yang sayang istri dan juga sayang anak, tak mau ia mengecewakan buah hatinya. Alhasil, disembelihlah Zenovia, dikuliti dan dimutilasi, kemudian Budhe membumbuinya dan jadilah opor. Waktu itu aku juga turut menikmatinya. Hmmmm YUMMY...

Namun, tak dinyana, eksekusi Pak Dhe tersebut berbuah petaka. Alehandro terluka hatinya, tak mau lagi ia bertarung, nafsu makannya turun, kokoknya tak seperti dulu. Sebenarnya Pak Dhe sudah berusaha memberikan pasangan baru untuk Alehandro, kita sebut saja Bunga. Tapi Alehandro tetap tak bergeming. Pak Dhe heran dengan perubahan piaraannya, masalah Alehandro turut membuatnya galau, tak habis pikir ia memikirkan Alehandro, sampai-sampai dalam tidur malamnya ia pun bermimpi bercakap-cakap dengan Alehandro.

Jadi percakapan antara Pak Dhe dan Alehandro kurang lebih begini:
Pak Dhe: “Le, kamu ini kenapa tho, kok jadi loyo kayak gini?”
Alehandro: “ampun Ndoro, hamba sudah tidak ada hasrat lagi untuk bertarung, semenjak kepergian Zenovia, separuh jiwaku pergi, Ndoro”
Pak Dhe: “Lah da lah, Le, piye tho, kan sudah kuganti yang baru, Bunga?, wis jan, bahkan menyentuhnya saja kau tidak mau”
Alehandro: “sebelumnya maturnuwun Ndoro, tapi maaf, hati ini cuma satu, sudah untuk mencintainya, Zenovia”
Pak Dhe: “Wis, mbuh terserah,, jadi kau benar-benar sudah tak mau bertarung lagi?”
Alehandro: “sudah kuputuskan Ndoro, hamba pensiun, gantung jalu, hamba ingin hidup damai ndoro”

Dan rupanya mimpi itu telah menyadarkan Pak Dhe, beliau merasa Tuhan telah menegurnya. Manusia tidak boleh semena-mena melukai sesama mahluk hanya untuk kesenangan sesaat. Pak Dhe kini sudah tak pernah menyabung ayam lagi, sebagaimana kicau burung dan kokok ayam yang merupakan lantunan puji-puji kepada Ilahi hidupnya kini dihiasi dengan dzikir dan doa.
***

Kemayoran 11-06-2011
Pamelih Wongsoatmojo

Minggu, 21 November 2010

Sekali Waktu di Pantai Rembang di Pagi Hari

Adzan subuh berkumandang, aku terbangun, melihat jam. Masih jam empat ternyata, wah, masih teramat pagi, dan mata ini tidak mau kompromi, tanpa sadar aku terlelap lagi.
Sesaat kemudian, sudah terang berendang diluar, sinar mentari mulai menerobos celah-celah jendela,
Ibu membangunkanku: “sudah jam lima lewat”, waaa, aku segera meloncat bergegas mengambil wudhu dan sembahyang.
***
Pagi yang sungguh cerah, dan ternyata aku ada janji dengan kawan lama, seorang wanita. Kami sepakat untuk bertemu di dermaga.
Dengan langkah tergesa aku berjalan meyusuri kampung nelayan, dengan bau amis ikan di sepanjang jalan. Dan akhirnya dermaga tampak di depan, seketika pemandangan pantai di utara dan gunung di timur menyambutku. Dengan ombak yang tenang dan angin laut berhembus pelan.
“Kau terlambat” sapanya menyambutku.
“maafkan aku, aku tak biasa bangun pagi. Mm, maksudku kalau hari libur aku tidak bisa bangun pagi” jawabku
“ya, aku mengerti,, baiklah, kau sudah berusaha” jawabnya sambil tersenyum.
Dia seumuran denganku, kuning langsat, mata bulat, hidung ala kadarnya, dulu tubuhnya kecil mungil, namun sekarang dia telah tumbuh menjadi wanita dewasa dengan senyum yang menggoda. Dan jadilah ia bunga kampung nelayan di sepenggal pantai pesisir kabupaten Rembang.
“lama tak jumpa, bagaimana kabarmu? Tanyaku sambil duduk disebelahnya ditepian dermaga.
“seperti yg kau lihat, tak kurang suatu apa, lalu bagaimana denganmu, kau lama tak pulang”?
“yah, memang sudah lama aku tak pulang. Banyak yang berubah disini” jawabku
Dia tertawa, kemudian berkata “apa yang berubah?, pantai ini masih seperti yang dulu,,, hiruk pikuk nelayan mungkin?, yah memang sekarang sudah dibangun tempat pelelangan ikan dan juga pelabuhan untuk kapal nelayan… kau mungkin baru tahu , tapi ombak, hembusan angin, bau amis ikan, masih seperti dulu, bukan?”
“Tentu, suasananya masih seperti dulu. Lima tahun yang lalu. Terakhir kali aku menginjakkan kaki di kota ini tuk menggapai mimpi. Tapi dirimu telah berubah?”
“Apa maksudmu?”
“Kau tumbuh jadi gadis yang cantik”
“Kau pandai merayu sekarang, Jakarta sepertinya telah bnyak merubahmu” jawabnya sambil tersipu
“aku hanya bicara yang sebenarnya”
Setelah itu kami terdiam tak bicara,,, lama hingga ku mulai bertanya.
“jadi kau sering kesini, ke dermaga?”
“ bisa dibilang begitu, aku suka dengan deru ombak dan bisik angin, melihat perahu-perahu yang berangkat subuh dan pulang disiang atau sore hari, berlabuh di dermaga, menurunkan ikan tangkapan dan menunggu hingga besok kantor lelang buka.” jawabnya
***
Matahari semakin meninggi, semakin terik, dan kami bicara tentang apa saja.
Kemudian kuputuskan untuk mengantarnya pulang.
Dan tidak diketahuinya, diantara derai ombak abadi suling angin dan datang-perginya perahu, seseorang telah mencatatnya dalam hatinya..
***
Lain waktu aku mengajaknya lagi ke dermaga,,, tanpa diduga, dengan halus dia menolaknya.
Hancur hatiku.. huhuhuhu


Rembang, 22 November 2010
Pamelih Wongsoatmojo

Minggu, 10 Oktober 2010

Musibah Bagi Fernando

Hujan rintik mengguyur, membasahi bumi. Rumput dan dedaunan di depan rumah mulai bersemi, menghijau kembali. Di sebuah rumah dimana keluarga Fernando tinggal, seorang gadis kecil bermain hujan di halaman rumahnya, rumah sederhana berpagar kayu mahoni. Perhatiannya tertuju pada daun-daun bunga mawar yang basah tersiram hujan. Kemudian ia beralih ke pohon talas di samping selokan. Ia menggoyang-goyangkan daun talas itu,menyebabkan butiran-butiran air berlarian tak tentu arah.
Ia sangat menikmati rintik hujan di sore itu. Sampai saat ibunya memanggil dari dalam rumah.
“Nikita,masuk nak! jangan hujan-hujanan,nanti kamu sakit lho!”
”iya Bu,” jawab gadis kecil itu sambil berlari masuk ke dalam rumah.
Sampai dalam rumah ia memperlihatkan daun talas yang dipetiknya kepada ibunya,memperlihatkan air yang tidak bisa melekat.
”Kenapa bisa begitu Bu?”
”Dengar anakku yang manis, Tuhan menciptakan makhluknya berbeda-beda satu sama lain. Masing-masing mempunyai sifat dan keunikan tersendiri, begitu juga dengan daun talas itu, mempunyai sifat yang membuatnya unik dan berbeda dari daun yang lain. Kamu paham kan, semua itu adalah tanda-tanda kebesaran Tuhan, karena itu kita harus taat kepadaNya dan bersyukur atas segala karuniaNya.”
***
Diluar hujan telah reda, gadis kecil mengintip dari balik jendela, mengagumi indahnya pelangi yang terpatri diangkasa, segera ia ambil buku gambar, kemudian dengan seksama menggambar setiap detil yang dilihat dan mewarnainya.
Saat makan malam gadis kecil itu memamerkan gambar pelangi kepada ayahnya.
”Wah bagusnya gambarmu, lihat nih Bu gambar anak kita. Nikita memang punya bakat melukis.”
”Siapa dulu dong ibunya,”tukas ibu menimpali.
Nikita sangat senang mendapat pujian dari ayahnya. Bahkan ayahnya berjanji akan membelikan Nikita pensil warna sebagai hadiah.
”Setelah makan belajar ya!, PRmu sudah kamu kerjakan belum?” perintah sang ayah.
***
Saat gadis kecil sedang belajar, terjadilah perbincangan antara Fernando dan isterinya. ”Bu, melihat gambar anak kita, aku baru sadar kerusakan hutan di sisi bukit sudah sangat parah. Nikita menggambar kerusakan itu dengan sangat jelas. Yah, semua itu akibat maling-maling sialan, yang membabat habis pohon-pohon di bukit itu. Saat pengusaha bejat dari jakarta bermain dengan aparat, sehingga bisa menjarah kayu di hutan lindung itu.”
Ibu dengan antusias mendengarkan suaminya berbicara. Fernando melanjutkan, ”Beberapa minggu yang lalu kampung kita dilanda kekeringan, sumur-sumur penduduk mengering, aku terpaksa menambah kedalaman sumur kita, diperdalam tujuh meter bu. Ibu ingat tetangga-tetangga kita yang antri mandi, mencuci disumur kita. Padahal ibu tahu dulu disini air bersih berlimpah, waktu kecil aku sering mandi di sungai samping sawah. Airnya jernih, sampai terlihat jelas ikan-ikan yang berenang di dasarnya. Tapi sekarang sungai itu keruh, banyak sampah, kalau kemarau kering, kalau hujan meluap. Aku takut bu, saat alam sudah tak lagi bersahabat, saat lingkungan dirusak oleh tangan-tangan jahil manusia. Aku takut bencana akan datang bu. Akhir-akhir ini aku sering bermimpi, mimpi buruk. Kampung kita terkena air bah, banjir bandang yang membawa lumpur erosi hulu. Air menerjang semua yang menghalangnya. Pepohonan besar kecil tercabut dari akarnya, hanyut. Menghantam tembok bangunan dan merobohkannya. Terdengar tangis bayi dan anak kecil yang terpisah dari orang tuanya. Sungguh mengerikan bu.”
”Yah, aku tahu ketakutan bapak,sebagai anggota Lembaga Pemerhati Lingkungan tentu bapak tahu betul akan dampak kerusakan lingkungan. Kita berdoa saja pak agar tidak terjadi apa-apa.”
”Bu, proposal bantuan dana yang aku ajukan bulan lalu disetujui,aku akan pergi ke Jakarta, mungkin sekitar tiga atau empat hari, menghadiri undangan seminar lingkungan hidup, kantor menugaskanku untuk presentasi disana mengenai kerusakan hutan lindung di bukit itu.” Fernando terdiam sejenak, menghela napas kemudian melanjutkan:
“Padahal sebenarnya kalau kita bisa dengan cerdas dan bijak mengelola lingkungan ,tak perlu ada program konservasi, rekonstruksi atau rehabilitasi. Tapi sudah terlambat bu. Aku harap nanti pemerintah dan beberapa sponsor mau membiayai proyek rehabilitasi.”
***
Maka berangkatlah sang suami. Sesampainya di Jakarta, Fernando terkejut, Jakarta sekarang lebih kacau. Sudah jauh berbeda sejak sepuluh tahun yang lalu, saat ia menamatkan kuliah S1nya, Jakarta sekarang lebih ruwet, sumpek, macet dimana-mana, polusi, banyak gelandangan dan semakin banyak pengemis.
”Lha nggak banjir gimana, semua tanah di beton, air hujan nggak bisa meresap ke tanah, langsung mengalir ke selokan, menuju sungai, terus ke laut. Sayangnya, selokan mampet, sungai sudah jadi kampung, banyak sampah, jadinya nggak muat menampung air. Semakin banyak Mall, apartemen, perumahan elit dibangun , namun semakin banyak pula kolong jembatan dan pinggiran sungai jadi deretan rumah gubuk semi permanen.
Jakarta tinggal menunggu waktu untuk tenggelam.” oceh supir taksi yang ditumpangi Fernando
***
Beberapa hari berlalu. Jam menunjukkan pukul 09.00 malam, diluar hujan. Terdengar dering telepon dirumah Fernando.
”Bagaimana kabarmu Bu?” sang suami menelpon
”Alhamdulillah baik pak, bagaimana presentasi bapak disana? terus kapan pulang?”
”Sukses bu, aku berhasil meyakinkan lembaga donor luar negeri untuk memberi dana rehabilitasi. Alhamdulillah, mereka menyanggupi lima milyar dollar. Kerjaan sudah kelar jadi aku bisa pulang besok. Nikita sudah tidur ya?”
”Sudah, ia sudah tidur sejak jam delapan tadi. Jangan lupa ia minta dibelikan oleh-oleh!”
”Ya bu.aku sudah beli oleh-oleh buat Nikita. Terus kalau ibu minta apa?”
”Kalau aku sih nggak minta apa-apa pak, cukup mas selamat sehat walafiat sampai rumah”
”Beneran nih Bu, di Tanah Abang baju murah-murah lho?, ya sudah kalau begitu. Ibu hati-hati dirumah ya!” pesan sang ayah sambil menutup telepon.
***
Diluar rumah keluarga Fernando hujan masih mengguyur. Sudah tiga hari tiga malam hujan terus menerus mengguyur kota di kaki gunung itu dan belum ada tanda-tanda akan berhenti.
Suara kilat menyambar-nyambar, menggelegar, angin berhembus kencang. Banyak pohon tumbang, listrikpun sudah padam semenjak kemarin. Membuat suasana mencekam. Sekitar pukul satu dini hari, sang ibu terjaga. Suara kentongan bertalu-bertalu, terdengar orang-orang berteriak . ”Banjir, banjir, air bah datang.” Diluar rumah air sudah mencapai selutut, dan sekarang air mulai masuk kerumah. Sang ibu segera membawa Nikita pergi menyelamatkan diri.
”Semuanya ngungsi ke SD Wonokromo, disana aman dari air. Ayo cepat air semakin meninggi” teriak pak RT.
Hujan masih deras, suasana sangat menakutkan, aliran listrik mati. Semua penduduk menyelamatkan diri. Mereka berlarian ditengah banjir, tanpa bisa menyelamatkan barang-barang berharga mereka. Segera saja para pengungsi memenuhi Sekolah Dasar Negeri 1 Wonokromo. Bangunan tersebut memang berada di tempat yang agak tinggi, jadi aman dari genangan air.
Pengungsi di SD tersebut didominasi wanita, anak-anak dan para lansia, sedangkan para pemuda dan bapak-bapak berjaga-jaga mengawasi kalau-kalau ada pihak yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Sebagian membantu evakuasi warga. Beberapa pemuda menyusuri kampung dengan perahu karet mencari warga yang masih terjebak dalam banjir.
Suasana dalam pengungsian riuh, ricuh. Semua membicarakan datangnya bencana yang begitu tiba-tiba, yang belum pernah terjadi sebelumnya. Semua orang saling menyalahkan satu sama lain, saling menuduh penyebab terjadinya bencana. Sebaliknya mereka juga saling menutupi kesalahan masing-masing, seakan-akan mereka orang yang suci tak berdosa.
Di tengah kekisruhan itu,tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari bukit di belakang SD. Braagh....,srukh-srukh....,gluuuur... suara yang mengejutkan orang-orang di pengungsian. Terdengar orang-orang yang berada diluar berteriak, ”tanah longsor, bukit ambruk”. Seketika suasana menjadi kacau, semuanya panik. Para pengungsi segera beranjak lari keluar, menjauhi bukit. Namun sayang, seketika runtuhan tanah bukit segera mengubur SD itu, lebih dari dua ratus orang tejebak, terkubur hidup-hidup. Sebagian besar adalah lansia,wanita dan anak-anak.
Manusia-manusia yang selamat dari longsor berteriak histeris, mereka seakan tidak percaya atas kejadian mengerikan yang baru saja terjadi.
”Duh Gusti, dosa apa ini Gusti Allah”. Teriak seorang bapak sambil menangis mencari keluarganya.
”Kita harus menjauhi bukit, masih ada kemungkinan longsor lagi,disini masih belum aman. Evakuasi korban dilakukan besok saja. kita sekarang ke tempat yang aman dulu” Pekik pak lurah memperingatkan warganya.
***
Keesokan harinya hujan reda, air beranjak surut. Lokasi bencana telah ramai dengan para reporter berita dan para kuli tinta. Evakuasi korban dilakukan oleh warga yang selamat dibantu anggota TNI dan sukarelawan. Berita bencana dengan cepat menyebar sampai ke Jakarta. Fernando terkejut dengan berita bencana banjir dan longsor di kampungnya. Dia mencoba menghubungi keluarganya, namun ternyata jaringan telepon ke daerah bencana telah terputus. Ia memutuskan segera pulang pagi itu juga. Sepanjang perjalanan pulang tak henti-hentinya dia berdoa, memohon keselamatan anak istrinya. Resah dan gelisah menyesak di dada, berkecamuk di hati. Membayangkan terjadi sesuatu yang buruk terhadap keluarganya. Waktu tempuh pesawat yang hanya satu setengah jam terasa sangat lama, membuat batinnya tersiksa.
Sesampai di tempat bencana, segera saja ia menuju ke pos informasi, menanyakan korban selamat. Ia berdesak-desakan melihat daftar pengungsi yang selamat, kecewa tak ada nama istri dan anaknya disitu, kemudian ia berjalan dengan langkah berat menuju tempat evakuasi korban. Di tempat itu terlihat alat-alat berat sedang menggali longsoran tanah mencari jasad korban. Terlihat beberapa mayat korban yang sudah berhasil di evakuasi terlihat sangat mengenaskan. Memilukan.
Fernando memeriksa satu persatu mayat-mayat itu, memastikan apakah termasuk anggota keluarganya. Hingga pandangannya tertuju pada dua sosok mayat. Seorang anak yang memeluk ibunya.
Taaaaaaaaaaaar!!!!... Rasanya seperti disambar petir saat ia mengetahui bahwa kedua jasad itu adalah anak dan istrinya. Badannya goyah. Ia hampir jatuh kalau tidak dipegang seorang sukarelawan. Sebelum akhirnya dia histeris dan pingsan.
”Innalilahi wa inna ilaihi roji’un”. Suara yang terdengar dari mulutnya sesaat setelah ia tersadar.
”maafkan aku bu, seharusnya aku bisa mencegah bencana ini. Maafkan aku, aku tidak berdaya bu.”
”Nikita, anakku. Maafkan ayah nak, ayah terlambat, musibah kadung datang.
Nikita, bukankah kau senang menggambar nak, bahkan saat ini kau masih menggenggam buku gambarmu. Pasti kau tidak sabar ingin menunjukkan gambarmu padaku. Ayah sudah membelikanmu pensil warna kualitas terbaik, yang paling mahal dari yang ada di PS nak. Ayah menepati janji. Jadi jangan marah Nikita. Putriku sayang.”
***
Tangerang,
2007
ttd
Pamelih Wongsoatmojo

Sick Building Syndrome

Jika anda adalah seorang pekerja yang banyak menghabiskan waktu di gedung perkantoran bertingkat, berkarpet, berdinding kaca serta full AC. Apakah anda sering merasakan gangguan pada kesehatan anda seperti sakit kepala, iritasi mata, badan cepat letih, perut terasa kembung, hidung berair, tenggorokan gatal, kesulitan dalam berkonsentrasi, kulit terasa kering serta batuk kering yang tak kunjung sembuh.waspadalah karena bisa jadi anda mengalami 'sick building syndrome'.

SBS merupakan kondisi ketika para pekerja dalam suatu gedung mengalami penurunan kesehatan yang berkaitan dengan lamanya waktu berada di dalam gedung. Pada kasus yang ringan, keluhan ini akan menghilang ketika Anda keluar dari gedung tersebut.

Berdasarkan riset yang dilakukan Institut Nasional Kesehatan dan Keselamatan Kerja (NIOSH) AS pada tahun 1997, sebanyak (52%) penyakit pernapasan yang terkait dengan sick building syndrome bersumber dari kurangnya ventilasi dalam gedung serta dan kinerja AC gedung yang buruk. Perlu diketahui bahwa suhu AC di dalam gedung bertingkat biasanya kelewat dingin, yaitu berkisar antara 20-23 derajat celsius. Nah, rekayasa suhu udara inilah yang membuat bakteri-bakteri merugikan seperti Chlamydia, Escheriachia dan Legionella spleluasa bergerilya di saluran pernapasan. Sisanya, 17% disebabkan pencemaran zat kimia yang ada di dalam gedung. Seperti mesin foto kopi, pengharum ruangan, larutan pembersih, atau bahan kain pelapis dinding.

Solusi



1.
Jika memungkinkan, buka membuka pintu atau jendela di pagi hari sebelum polusi udara di luar tinggi untuk memberi udara segar masuk.

2.
Minimalkan penggunaan pengharum ruangan atau larutan pencuci karpet yang baunya cukup tajam.

3.
Minta manajemen gedung untuk meningkatkan perawatan gedung sehingga karpet, perabot serta meja dan kursi di kantor tidak terlalu berdebu.

4.
Hindari pula menyalakan AC secara nonstop dan penyemprotan pewangi ruangan secara berlebihan.

5.
Sesekali, istirahatkan AC agar kuman tidak keenakan berkembang biak di tempat lembap ini. Mintalah kepada pengurus gedung agar membuka jendela lebar-lebar beberapa menit sebelum AC dinyalakan. Biarkan sinar matahari masuk ke dalam ruangan, karena panasnya akan membunuh sebagian besar kuman.

6.
Pajanglah tanaman hias di sekitar ruanganserta meja kerja Anda. Sebab tanaman hias dalam ruangan terbukti mampu menguraikan udara tercemar dalam gedung. Tanaman yang bisa dipilih di antaranya bonsai beringin (Ficus menyamina), palem-paleman (Rhapis), jenis-jenis kaktus kecil (cactus), atau tanaman lidah mertua (Sanseviera).



dicopy kemudian dirubah dan ditambah seperlunya dari http://www.conectique.com/tips_solution/health/disease/article.php?article_id=6073