Minggu, 10 Oktober 2010

Musibah Bagi Fernando

Hujan rintik mengguyur, membasahi bumi. Rumput dan dedaunan di depan rumah mulai bersemi, menghijau kembali. Di sebuah rumah dimana keluarga Fernando tinggal, seorang gadis kecil bermain hujan di halaman rumahnya, rumah sederhana berpagar kayu mahoni. Perhatiannya tertuju pada daun-daun bunga mawar yang basah tersiram hujan. Kemudian ia beralih ke pohon talas di samping selokan. Ia menggoyang-goyangkan daun talas itu,menyebabkan butiran-butiran air berlarian tak tentu arah.
Ia sangat menikmati rintik hujan di sore itu. Sampai saat ibunya memanggil dari dalam rumah.
“Nikita,masuk nak! jangan hujan-hujanan,nanti kamu sakit lho!”
”iya Bu,” jawab gadis kecil itu sambil berlari masuk ke dalam rumah.
Sampai dalam rumah ia memperlihatkan daun talas yang dipetiknya kepada ibunya,memperlihatkan air yang tidak bisa melekat.
”Kenapa bisa begitu Bu?”
”Dengar anakku yang manis, Tuhan menciptakan makhluknya berbeda-beda satu sama lain. Masing-masing mempunyai sifat dan keunikan tersendiri, begitu juga dengan daun talas itu, mempunyai sifat yang membuatnya unik dan berbeda dari daun yang lain. Kamu paham kan, semua itu adalah tanda-tanda kebesaran Tuhan, karena itu kita harus taat kepadaNya dan bersyukur atas segala karuniaNya.”
***
Diluar hujan telah reda, gadis kecil mengintip dari balik jendela, mengagumi indahnya pelangi yang terpatri diangkasa, segera ia ambil buku gambar, kemudian dengan seksama menggambar setiap detil yang dilihat dan mewarnainya.
Saat makan malam gadis kecil itu memamerkan gambar pelangi kepada ayahnya.
”Wah bagusnya gambarmu, lihat nih Bu gambar anak kita. Nikita memang punya bakat melukis.”
”Siapa dulu dong ibunya,”tukas ibu menimpali.
Nikita sangat senang mendapat pujian dari ayahnya. Bahkan ayahnya berjanji akan membelikan Nikita pensil warna sebagai hadiah.
”Setelah makan belajar ya!, PRmu sudah kamu kerjakan belum?” perintah sang ayah.
***
Saat gadis kecil sedang belajar, terjadilah perbincangan antara Fernando dan isterinya. ”Bu, melihat gambar anak kita, aku baru sadar kerusakan hutan di sisi bukit sudah sangat parah. Nikita menggambar kerusakan itu dengan sangat jelas. Yah, semua itu akibat maling-maling sialan, yang membabat habis pohon-pohon di bukit itu. Saat pengusaha bejat dari jakarta bermain dengan aparat, sehingga bisa menjarah kayu di hutan lindung itu.”
Ibu dengan antusias mendengarkan suaminya berbicara. Fernando melanjutkan, ”Beberapa minggu yang lalu kampung kita dilanda kekeringan, sumur-sumur penduduk mengering, aku terpaksa menambah kedalaman sumur kita, diperdalam tujuh meter bu. Ibu ingat tetangga-tetangga kita yang antri mandi, mencuci disumur kita. Padahal ibu tahu dulu disini air bersih berlimpah, waktu kecil aku sering mandi di sungai samping sawah. Airnya jernih, sampai terlihat jelas ikan-ikan yang berenang di dasarnya. Tapi sekarang sungai itu keruh, banyak sampah, kalau kemarau kering, kalau hujan meluap. Aku takut bu, saat alam sudah tak lagi bersahabat, saat lingkungan dirusak oleh tangan-tangan jahil manusia. Aku takut bencana akan datang bu. Akhir-akhir ini aku sering bermimpi, mimpi buruk. Kampung kita terkena air bah, banjir bandang yang membawa lumpur erosi hulu. Air menerjang semua yang menghalangnya. Pepohonan besar kecil tercabut dari akarnya, hanyut. Menghantam tembok bangunan dan merobohkannya. Terdengar tangis bayi dan anak kecil yang terpisah dari orang tuanya. Sungguh mengerikan bu.”
”Yah, aku tahu ketakutan bapak,sebagai anggota Lembaga Pemerhati Lingkungan tentu bapak tahu betul akan dampak kerusakan lingkungan. Kita berdoa saja pak agar tidak terjadi apa-apa.”
”Bu, proposal bantuan dana yang aku ajukan bulan lalu disetujui,aku akan pergi ke Jakarta, mungkin sekitar tiga atau empat hari, menghadiri undangan seminar lingkungan hidup, kantor menugaskanku untuk presentasi disana mengenai kerusakan hutan lindung di bukit itu.” Fernando terdiam sejenak, menghela napas kemudian melanjutkan:
“Padahal sebenarnya kalau kita bisa dengan cerdas dan bijak mengelola lingkungan ,tak perlu ada program konservasi, rekonstruksi atau rehabilitasi. Tapi sudah terlambat bu. Aku harap nanti pemerintah dan beberapa sponsor mau membiayai proyek rehabilitasi.”
***
Maka berangkatlah sang suami. Sesampainya di Jakarta, Fernando terkejut, Jakarta sekarang lebih kacau. Sudah jauh berbeda sejak sepuluh tahun yang lalu, saat ia menamatkan kuliah S1nya, Jakarta sekarang lebih ruwet, sumpek, macet dimana-mana, polusi, banyak gelandangan dan semakin banyak pengemis.
”Lha nggak banjir gimana, semua tanah di beton, air hujan nggak bisa meresap ke tanah, langsung mengalir ke selokan, menuju sungai, terus ke laut. Sayangnya, selokan mampet, sungai sudah jadi kampung, banyak sampah, jadinya nggak muat menampung air. Semakin banyak Mall, apartemen, perumahan elit dibangun , namun semakin banyak pula kolong jembatan dan pinggiran sungai jadi deretan rumah gubuk semi permanen.
Jakarta tinggal menunggu waktu untuk tenggelam.” oceh supir taksi yang ditumpangi Fernando
***
Beberapa hari berlalu. Jam menunjukkan pukul 09.00 malam, diluar hujan. Terdengar dering telepon dirumah Fernando.
”Bagaimana kabarmu Bu?” sang suami menelpon
”Alhamdulillah baik pak, bagaimana presentasi bapak disana? terus kapan pulang?”
”Sukses bu, aku berhasil meyakinkan lembaga donor luar negeri untuk memberi dana rehabilitasi. Alhamdulillah, mereka menyanggupi lima milyar dollar. Kerjaan sudah kelar jadi aku bisa pulang besok. Nikita sudah tidur ya?”
”Sudah, ia sudah tidur sejak jam delapan tadi. Jangan lupa ia minta dibelikan oleh-oleh!”
”Ya bu.aku sudah beli oleh-oleh buat Nikita. Terus kalau ibu minta apa?”
”Kalau aku sih nggak minta apa-apa pak, cukup mas selamat sehat walafiat sampai rumah”
”Beneran nih Bu, di Tanah Abang baju murah-murah lho?, ya sudah kalau begitu. Ibu hati-hati dirumah ya!” pesan sang ayah sambil menutup telepon.
***
Diluar rumah keluarga Fernando hujan masih mengguyur. Sudah tiga hari tiga malam hujan terus menerus mengguyur kota di kaki gunung itu dan belum ada tanda-tanda akan berhenti.
Suara kilat menyambar-nyambar, menggelegar, angin berhembus kencang. Banyak pohon tumbang, listrikpun sudah padam semenjak kemarin. Membuat suasana mencekam. Sekitar pukul satu dini hari, sang ibu terjaga. Suara kentongan bertalu-bertalu, terdengar orang-orang berteriak . ”Banjir, banjir, air bah datang.” Diluar rumah air sudah mencapai selutut, dan sekarang air mulai masuk kerumah. Sang ibu segera membawa Nikita pergi menyelamatkan diri.
”Semuanya ngungsi ke SD Wonokromo, disana aman dari air. Ayo cepat air semakin meninggi” teriak pak RT.
Hujan masih deras, suasana sangat menakutkan, aliran listrik mati. Semua penduduk menyelamatkan diri. Mereka berlarian ditengah banjir, tanpa bisa menyelamatkan barang-barang berharga mereka. Segera saja para pengungsi memenuhi Sekolah Dasar Negeri 1 Wonokromo. Bangunan tersebut memang berada di tempat yang agak tinggi, jadi aman dari genangan air.
Pengungsi di SD tersebut didominasi wanita, anak-anak dan para lansia, sedangkan para pemuda dan bapak-bapak berjaga-jaga mengawasi kalau-kalau ada pihak yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Sebagian membantu evakuasi warga. Beberapa pemuda menyusuri kampung dengan perahu karet mencari warga yang masih terjebak dalam banjir.
Suasana dalam pengungsian riuh, ricuh. Semua membicarakan datangnya bencana yang begitu tiba-tiba, yang belum pernah terjadi sebelumnya. Semua orang saling menyalahkan satu sama lain, saling menuduh penyebab terjadinya bencana. Sebaliknya mereka juga saling menutupi kesalahan masing-masing, seakan-akan mereka orang yang suci tak berdosa.
Di tengah kekisruhan itu,tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari bukit di belakang SD. Braagh....,srukh-srukh....,gluuuur... suara yang mengejutkan orang-orang di pengungsian. Terdengar orang-orang yang berada diluar berteriak, ”tanah longsor, bukit ambruk”. Seketika suasana menjadi kacau, semuanya panik. Para pengungsi segera beranjak lari keluar, menjauhi bukit. Namun sayang, seketika runtuhan tanah bukit segera mengubur SD itu, lebih dari dua ratus orang tejebak, terkubur hidup-hidup. Sebagian besar adalah lansia,wanita dan anak-anak.
Manusia-manusia yang selamat dari longsor berteriak histeris, mereka seakan tidak percaya atas kejadian mengerikan yang baru saja terjadi.
”Duh Gusti, dosa apa ini Gusti Allah”. Teriak seorang bapak sambil menangis mencari keluarganya.
”Kita harus menjauhi bukit, masih ada kemungkinan longsor lagi,disini masih belum aman. Evakuasi korban dilakukan besok saja. kita sekarang ke tempat yang aman dulu” Pekik pak lurah memperingatkan warganya.
***
Keesokan harinya hujan reda, air beranjak surut. Lokasi bencana telah ramai dengan para reporter berita dan para kuli tinta. Evakuasi korban dilakukan oleh warga yang selamat dibantu anggota TNI dan sukarelawan. Berita bencana dengan cepat menyebar sampai ke Jakarta. Fernando terkejut dengan berita bencana banjir dan longsor di kampungnya. Dia mencoba menghubungi keluarganya, namun ternyata jaringan telepon ke daerah bencana telah terputus. Ia memutuskan segera pulang pagi itu juga. Sepanjang perjalanan pulang tak henti-hentinya dia berdoa, memohon keselamatan anak istrinya. Resah dan gelisah menyesak di dada, berkecamuk di hati. Membayangkan terjadi sesuatu yang buruk terhadap keluarganya. Waktu tempuh pesawat yang hanya satu setengah jam terasa sangat lama, membuat batinnya tersiksa.
Sesampai di tempat bencana, segera saja ia menuju ke pos informasi, menanyakan korban selamat. Ia berdesak-desakan melihat daftar pengungsi yang selamat, kecewa tak ada nama istri dan anaknya disitu, kemudian ia berjalan dengan langkah berat menuju tempat evakuasi korban. Di tempat itu terlihat alat-alat berat sedang menggali longsoran tanah mencari jasad korban. Terlihat beberapa mayat korban yang sudah berhasil di evakuasi terlihat sangat mengenaskan. Memilukan.
Fernando memeriksa satu persatu mayat-mayat itu, memastikan apakah termasuk anggota keluarganya. Hingga pandangannya tertuju pada dua sosok mayat. Seorang anak yang memeluk ibunya.
Taaaaaaaaaaaar!!!!... Rasanya seperti disambar petir saat ia mengetahui bahwa kedua jasad itu adalah anak dan istrinya. Badannya goyah. Ia hampir jatuh kalau tidak dipegang seorang sukarelawan. Sebelum akhirnya dia histeris dan pingsan.
”Innalilahi wa inna ilaihi roji’un”. Suara yang terdengar dari mulutnya sesaat setelah ia tersadar.
”maafkan aku bu, seharusnya aku bisa mencegah bencana ini. Maafkan aku, aku tidak berdaya bu.”
”Nikita, anakku. Maafkan ayah nak, ayah terlambat, musibah kadung datang.
Nikita, bukankah kau senang menggambar nak, bahkan saat ini kau masih menggenggam buku gambarmu. Pasti kau tidak sabar ingin menunjukkan gambarmu padaku. Ayah sudah membelikanmu pensil warna kualitas terbaik, yang paling mahal dari yang ada di PS nak. Ayah menepati janji. Jadi jangan marah Nikita. Putriku sayang.”
***
Tangerang,
2007
ttd
Pamelih Wongsoatmojo

Sick Building Syndrome

Jika anda adalah seorang pekerja yang banyak menghabiskan waktu di gedung perkantoran bertingkat, berkarpet, berdinding kaca serta full AC. Apakah anda sering merasakan gangguan pada kesehatan anda seperti sakit kepala, iritasi mata, badan cepat letih, perut terasa kembung, hidung berair, tenggorokan gatal, kesulitan dalam berkonsentrasi, kulit terasa kering serta batuk kering yang tak kunjung sembuh.waspadalah karena bisa jadi anda mengalami 'sick building syndrome'.

SBS merupakan kondisi ketika para pekerja dalam suatu gedung mengalami penurunan kesehatan yang berkaitan dengan lamanya waktu berada di dalam gedung. Pada kasus yang ringan, keluhan ini akan menghilang ketika Anda keluar dari gedung tersebut.

Berdasarkan riset yang dilakukan Institut Nasional Kesehatan dan Keselamatan Kerja (NIOSH) AS pada tahun 1997, sebanyak (52%) penyakit pernapasan yang terkait dengan sick building syndrome bersumber dari kurangnya ventilasi dalam gedung serta dan kinerja AC gedung yang buruk. Perlu diketahui bahwa suhu AC di dalam gedung bertingkat biasanya kelewat dingin, yaitu berkisar antara 20-23 derajat celsius. Nah, rekayasa suhu udara inilah yang membuat bakteri-bakteri merugikan seperti Chlamydia, Escheriachia dan Legionella spleluasa bergerilya di saluran pernapasan. Sisanya, 17% disebabkan pencemaran zat kimia yang ada di dalam gedung. Seperti mesin foto kopi, pengharum ruangan, larutan pembersih, atau bahan kain pelapis dinding.

Solusi



1.
Jika memungkinkan, buka membuka pintu atau jendela di pagi hari sebelum polusi udara di luar tinggi untuk memberi udara segar masuk.

2.
Minimalkan penggunaan pengharum ruangan atau larutan pencuci karpet yang baunya cukup tajam.

3.
Minta manajemen gedung untuk meningkatkan perawatan gedung sehingga karpet, perabot serta meja dan kursi di kantor tidak terlalu berdebu.

4.
Hindari pula menyalakan AC secara nonstop dan penyemprotan pewangi ruangan secara berlebihan.

5.
Sesekali, istirahatkan AC agar kuman tidak keenakan berkembang biak di tempat lembap ini. Mintalah kepada pengurus gedung agar membuka jendela lebar-lebar beberapa menit sebelum AC dinyalakan. Biarkan sinar matahari masuk ke dalam ruangan, karena panasnya akan membunuh sebagian besar kuman.

6.
Pajanglah tanaman hias di sekitar ruanganserta meja kerja Anda. Sebab tanaman hias dalam ruangan terbukti mampu menguraikan udara tercemar dalam gedung. Tanaman yang bisa dipilih di antaranya bonsai beringin (Ficus menyamina), palem-paleman (Rhapis), jenis-jenis kaktus kecil (cactus), atau tanaman lidah mertua (Sanseviera).



dicopy kemudian dirubah dan ditambah seperlunya dari http://www.conectique.com/tips_solution/health/disease/article.php?article_id=6073

Metode Penilaian Hotel, antara kamar hotel, coca-cola, dan mama laurent

Ilmu penilaian merupakan perpaduan yang harmonis antara art dan science. Sebagaimana telah ditulis oleh rekan saya,Prof Endriko, yang menulis dalam media penilai internal bahwa"...penilaian merupakan profesi yang membutuhkan subjektivitas atau dengan kata lain Profesionalisme yang subjektif. Dan sepertinya perpaduan itu hanya dapat ditandingi oleh duet Schweinsteiger-Muller di Munich, atau Ozill-Higuain di madrid.

Kembali ke Penilaian hotel, diawali ketidaksengajaan sewaktu mengorek2 isi hardisk disebuah komputer tua di kantor yang hampir musnah gara2 virus. Penulis menemukan sebuah file tentang materi presentasi penilaian hotel. Setelah iseng sekilas membaca penulis menemukan sesuatu yang kurang lazim bagi anak prodip penilai dalam penilaian hotel. Ternyata masih ada pendekatan lain selain data pasar, pendapatan dan biaya.

Jadi 2 pendekatan itu adalah sebagai berikut:

1. Room Rate Multiplier


Nilai sebuah hotel adalah :

Avarage daily rate X number of rooms X 1.000

Dasar pemikiran : property hotel adalah bernilai 1000 kali lipat dari rata-rata rate harian


Contoh:

Jumlah Kamar : 250

Rata-rata room rate tahun 2006 : $ 182,09

Atau dengan harga tahun 2004 : $ 171,64

Value = 171,64 X 250 X 1.000

= $ 421.910.000


2. The Coke-can Multiplier


Dasar pemikiran : harga property hotel adalah 100.000 kali dari biaya sekaleng coca cola yang dijual di hotel tersebut


Value = Harga Coke X Jumlah Kamar X 100.000

= $1,5 X 300 X 100.000

= $ 37.500.000


Jadi pastikan kalau anda seorang penilai profesional anda dapat mengestimasi nilai suatu hotel hanya dg memesan sebotol coca-cola di hotel tersebut.....brrrrrr


Nah, kalau anda masih bingung atau belum jelas atau penasaran, jangan sungkan2 langsung saja hubungi .....Mappi, jangan mama laurent..hehe


Bagaimana menurut Anda???...

Sabtu, 09 Oktober 2010

Cerita Kereta Jakarta

“Hidup ini panggung sandiwara”.
Jika anda sudah hidup diawal tahun sembilanpuluhan, anda pasti tidak asing dengan petikan lirik lagu diatas. Tapi, pernahkah anda merasa bahwa kita memang hidup dalam sebuah panggung raksasa. Sebuah sandiwara dengan semua ironi, romantika atau tragedi yang menghiasi. Mau tidak mau kita pun terseret kedalam adegannya. Tetapi apakah kita akan menjadi tokoh protagonis ataukah antagonis:-sebagai pahlawan atau bajingan ataupun hanya sekedar memilih menjadi pemeran pembantu abu-abu, itu pilihan. Panggung kehidupan itu ada dimana-mana, salah satunya adalah dalam Kereta Ekonomi Jabodetabek.
***
KRL terus melaju melintas rel yang sudah tua , terlihat gerbong-gerbongnya yang rapuh. Suara dalam gerbong bergemuruh layaknya pasar yang lusuh.
Seperti biasa penjaja tahu sumedang berjalan dari gerbong ke gerbong dengan kereta dorong yang diatasnya terdapat keranjang berisi penganan khas dari kedelai yang berprotein tinggi. Seperti biasa penjual rokok menawarkan dagangannya kepadaku. ”Rokok mas”, ujar pria yang tampak masih muda, mungkin usianya sekitar dua puluh tahunan. Aku acuh,kemudian dia meneruskan “mijon mas” aku pun menjawab “nggak bang udah bawa” kataku sambil menunjukkan minuman isotonic, yang oleh para pedangangnya dengan seenak lidah disebut mijon. Aku memang terbiasa membawa minum sendiri walaupun isinya hanya air putih biasa tapi dengan dikemas botol bermerk cukup ampuh untuk menipu pedagang asongan.
Seperti biasa pengamen berdatangan sambung menyambung.Dengan instrument sederhana mereka membawakan lagu-lagu yang sedang hits. Mulai dari Dewa, Radja, Kangen band sampai lagunya Bon Jovi atau The Beatles. Kali ini datang tiga orang pengamen, ternyata mereka satu kelompok. Masing-masing mempunyai tugasnya masing-masing, mereka masih muda-muda, tentunya. Ada yang memainkan gitar, satu orang memainkan drum, ”ah bukan” lebih tepatnya mini drum. Satu lagi yang tampak paling muda, rambutnya berwarna merah. entah apakah karena sering terpanggang sinar matahari atau ia sengaja mengecatnya begitu. Penampilan kelompok pengamen ini cukup menghibur meskipun suara gitarnya kurang bagus karena senar gitarnya pasti sudah lama tak diganti, tapi suara vokalisnya boleh juga. Tak kusangka Indonesia begitu kaya akan seniman berbakat. Setelah membawakan tiga buah lagu nan cantik mereka pun berlalu. Seperti biasa, aku enggan memberi sekeping uang logam bagi mereka.
Beberapa saat kemudian datang lagi seorang pengamen, ia seorang laki-laki berambut gondrong ”oh,bukan” dia seorang waria. Instrumen yang dibawanya sederhana namun lebih memanfaatkan teknologi, ia membawa tape recorder dengan microphone yang listriknya disuplay dengan baterai. Dia berkaraoke selayaknya seorang biduan orkes dangdut. Sambil bernyanyi ia menghampiri satu persatu penumpang yang duduk digerbong itu, tangan kirinya memegang microphone,sedangkan tangan kanannya menyodorkan kantong bungkus permen, meminta balas jasa. Saat tangannya yang besar nan kokoh itu menhampiriku, dengan cepat aku memasukkan sekeping uang logam lima ratusan. Aku trauma jika bertemu dengan waria, bencong ,banci, transsexual atau apalah orang menyebutnya.
Kisahnya begini waktu itu aku sedang dalam perjalanan ke Solo dengan menggunakan kereta ekonomi Bengawan. Waktu sampai di Brebes datang bencong mengamen. Tampangnya sangar, walaupun sudah dimakeup dengan bedak dan lipstik, tetap sangar, masih jelas tampak raut muka seorang bapak-bapak. Setelah menyanyi ia meminta uang sekedarnya kepada para penumpang termasuk kepadaku. Sialnya waktu itu aku tidak punya uang kecil, yang ada hanya lembar sepuluhribuan, yang tentu saja aku sayang untuk memberikannya. Saat waria itu menghampiriku, aku mengangkat tanganku sambil menunjukkan telapak tanganku pertanda aku tidak punya uang. Namun dengan semena-mena tangan waria nan berotot itu malah mencolek-colek tanganku. Dia juga memencet hidungku dan mencubit pipiku, sambil berucap “ih ganteng, pelit amat sih nek, gemes…gemes….iih!!!”. Sejak saat itu aku jadi parno kalau bertemu mahluk seperti itu. Saat sampai dirumah kuceritakan kejadian ini kepada saudara-saudaraku. Eh,mereka malah tertawa. Apanya yang lucu, batinku. Sebagian menasehatiku untuk lebih dermawan.” makanya le , kalau pergi naik kendaraan umum, persiapan bawa duit receh yang banyak” kata Pakde menasehati.
***
Kereta ekonomi jabodetabek jurusan Stasiun Kota- Bekasi telah sampai di Stasiun Manggarai, seperti biasa para penumpang ada yang naik dan ada yang turun, kulihat dipintu sesosok pria memakai baju lengan panjang warna biru muda, dengan celana hitam. Penampilannya seperti seorang eksekutif muda, umurnya pastilah sekitar dua puluh lima tahunan. Ia memandang sekeliling mencari tempat duduk yang kosong, sebelum akhirnya memutuskan duduk disebelahku. “Permisi Adek” ujarnya sopan

“ya silahkan” jawabku sambil bergeser sedikit kesamping.
“Mau ke mana adek” sapanya ramah kepadaku, walaupun sekedar basa-basi tapi senyumnya menunjukkan keakraban yang menyenangkan.
“bekasi “ jawabku singkat sambil tersenyum.
“wah kebetulan saya juga mau ke bekasi juga” ujarnya
Perbincangan kami terputus karena ada pengamen yang lewat dan meminta uang. Kali ini pengamennya seorang anak kecil mungkin masih SD. Lelaki sebelahku memberikan selembar uang sepuluh ribu rupiah padanya, sementara aku hanya seratus rupiah.
”Wah Abang baik banget ya! sepuluh ribu untuk satu pengamen” pujiku padanya.“ yah gimana lagi, aku kasihan sama mereka, adik tahu nggak kenapa ada banyak pengamen, pengemis dan pedagang asongan?”. Belum sempat aku menjawab dia melanjutkan. ”pemerintah belum bisa memberikan lapangan kerja di sektor formal, ya gitu jadinya” kemudian ia melanjutkan “Salah siapa kalau jadi banyak pengangguran lalu karena perut lapar mereka nekat jadi rampok atau copet? masih bagus kalau mereka masih mau usaha, jadi pedagang asongan, ngamen kek”.dia menghela nafas sebentar kemudian melanjutkan, “Anggota DPR dan pejabat minta naik gaji dikasih, tapi kalau buat anggaran pendidikan, kesehatan sama kesejahteraan rakyat bilangnya nggak ada duit, dasar brengsek.”
Anjrit, berat juga tuh ngomongnya. Dari omongannya terlihat kalau dia berpendidikan tinggi, sedangkan dari nada bicaranya terlihat ia sangat kecewa pada pemerintah.
Kereta yang aku tumpangi sudah memasuki Stasiun Jatinegara, kereta berhenti untuk menurunkan dan mengambil penumpang. Di luar kulihat KRD juga berhenti untuk mengambil penumpang, sepertinya kereta itu akan menuju Tanah Abang. Banyak penumpangnya berada diatap gerbong, padahal kulihat didalam gerbong masih kosong, masih ada tempat walaupun berdiri. Entah kenapa mereka nekat dan berpikiran sempit seperti itu, sepertinya mereka sudah tidak sayang lagi pada nyawanya atau sudah jenuh menghirup udara. Aku pernah bertanya kepada beberapa dari mereka, ada yang bilang lebih seger kalau diatap, sebagian bilang kalau diatap nggak usah beli tiket. Padahal harga tiket kereta ekonomi jabotabek cuma Rp 1500,00.
***
Gerbong yang aku tumpangi sudah mulai penuh. Kulihat seorang ibu-ibu tergopoh-gopoh membawa banyak barang belanjaan. Pasti dia habis berbelanja di Pasar Jatinegara, pikirku. Kulihat dia sedang mencari tempat duduk.
“Silahkan duduk Bu” kataku sambil berdiri memberi tempat duduk padanya. Ibu yang satu ini bertubuh agak gemuk. Umurnya sekitar empat puluh lima tahunan. Dia memakai baju biru lengan pendek dipadukan dengan rok hitam panjang. Terlihat sangat pantas dia memakainya. Ah, aku jadi teringat ibuku, wanita paling baik hati didunia, menurutku.
Kereta kembali berangkat,dengan muatan yang padat, gerah pun terasa sangat, perlahan panas terasa menyengat. Ternyata enak juga berdiri, walaupun pandangan keluar jadi terbatas karena sudut pandang ke jendela jadi terhalang.Tapi tak apalah, lagipula tidak ada pemandangan bagus. Sepanjang perjalanan yang ada hanya rumah-rumah kumuh terbuat dari seng atau kardus bekas. Kotor, semrawut, kumuh. Ini adalah pemandangan kontras dibalik kemegahan kota metropolitan Jakarta.
Kereta akhirnya sampai di tujuan terakhir, Bekasi. Saat kereta berhenti, para penumpang mulai keluar gerbong masing-masing. Aku segera melangkah keluar stasiun, menuju halte menunggu angkot yang akan mengantarkanku ke rumah Paman. Di sebelahku ternyata berdiri ibu yang tadi kupersilahkan duduk ditempatku. ”Lagi nunggu angkot juga bu”sapaku berbasa-basi dengannya. ”Oh,nggak Dek, aye lagi nunggu laki ane, biasanye sih laki ane yang jemput” jawabnya dengan logat betawinya yang khas.
“Tuh dateng” kata ibu itu sambil menunjuk pria berjaket kulit hitam mengendarai motor bebek buatan jepang. ”Barangnya taruh depan aja pak” suruh ibu itu pada suaminya.
“Loh gelang yang biasa kamu pakai mana, kok nggak ada, kalungmu juga??” tanya bapak itu pada istrinya heran. ”Waduh… bujubuneng, astagfirullah….gelang, kalung ame dompet aku kasih ke abang tadi” jawab si istri. ”Busyet , punya bini satu tingkahnye kok ade-ade aje, abang yang mana lagi ? tanya suaminya lagi. ”Tadi yang duduk di sebelah ane, orangnye sih gagah, tampangnye sih kayak orang kantoran gitu, pakai baju biru muda. Sompret, kok aku jadi linglung ngasih gitu aja ke dia”
Suasana di halte jadi ramai, hingga ada yang nyeletuk ”Wah ibu kena hipnotis tuh, lapor polisi aja Bu ?”
***
Dari deskripsi yang diberikan ibu itu aku tahu kalau pelakunya adalah orang yang sempat duduk disebelahku, sempat juga ngobrol denganku tadi .Tapi dari penampilannya aku sungguh tidak menyangka kalau dia penjahat. Aku termenung, mencoba berpikir dan hanya bisa terpana tak percaya. Aku periksa dompetku, uang enam belas ribu lima ratus masih ada, surat-surat lengkap. Aku cek isi tasku: buku, ipod, handphone, minyak gosok masih utuh. Alhamdulillah.

Jurang Mangu, 2008
ttd
Pamelih Wongsoatmojo