Sabtu, 26 November 2011

Hujan

Bau tanah basah sehabis hujan sore itu
Tanah merekah gersang tandus tinggal kenangan
Untuk datang kembali sehabis musim layangan

Rabu, 03 Agustus 2011

Jhon Lie

Matahari baru saja terbenam saat sebuah kapal hitam menyelinap keluar dari pelabuhan kecil di Phuket, Thailand. Kapal motor berwarna hitam itu tak menyalakan lampu. Di buritannya berkibar bendera Merah Putih.

Di belakang kemudi, berdiri kapten kapal John Lie. Siapakah dia?

John Lie adalah sosok legendaris dalam organisasi penyelundup senjata yang terentang dari Filipina sampai India. Jaringan ini punya kantor rahasia di Manila, Singapura, Penang, Bangkok, Rangon dan New Delhi.

Untuk mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia yang masih sangat muda, kepemilikan senjata api adalah hal mutlak. Bahkan dalam perjanjian gencatan senjata Agresi Militer Belanda I, Perdana Menteri Hatta menegaskan bahwa gencatan senjata tidak termasuk impor dan ekspor senjata oleh Republik.

Belanda tetap memberlakukan blokade terhadap Indonesia dalam rangka menghalangi kemerdekaan bekas jajahannya. Menyiasatinya, senjata diperjualbelikan dengan menembus blokade Belanda itu. Dari sanalah karier penyelundup John Lie mencapai puncaknya. Meskipun Republik muda itu tak punya dana, Lie berhasil mendapatkan senjata dengan cara barter dengan hasil bumi.

Menurut buku “The Indonesian Revolution and The Singaporean Connection”, harga senjata bervariasi. Tahun 1948, penyelundup menjual dua karabin dan ribuan magasin dengan bayaran satu ton teh. Satu senapan mesin dan ribuan magasin dihargai 2,5 ton teh, enam ton teh bisa digunakan untuk membeli enam senjata anti pesawat udara beserta ribuan magasinnya.

John Lie adalah legenda. Menurut laporan majalah Life yang terbit pada 26 September 1949, kapal Lie yang panjangnya 110 kaki (34 meter) selalu lolos dari patroli Belanda. Mengingat kapal itu tak dilengkapi senjata, meloloskan diri bukan perkara mudah. Kapal kerap dikejar sepanjang Selat Malaka, tak jarang dibombardir dengan peluru dan bom. Empat kapal lain yang sejenis telah dihancurkan Belanda.

Kapten Lie yang saat itu berusia 39 tahun, punya siasat. Kapal hitam dengan nomor registrasi PPB 58 LB itu disembunyikannya di teluk-teluk kecil sepanjang Sumatera dengan ditutupi dedaunan. Lie dan krunya lalu menunggu dalam diam hingga kapal dan pesawat Belanda menghentikan pencariannya.

Lie bergerak dengan bantuan belasan krunya, semuanya anak muda dengan usia rata-rata 21 tahun. Mereka bekerja tanpa dibayar demi patriotisme kepada Republik Indonesia. Mereka bolak -balik membeli senjata, dan menukarnya dengan hasil bumi, seperti teh, karet dan kopi.

John Lie adalah penganut Kristen yang taat. Dalam misinya dia selalu membawa dua Injil. Satu berbahasa Inggris dan satu Belanda. Meski demikian dia tak pilih-pilih; sering juga dia memasok senjata bagi para pejuang Muslim di Aceh.

Kepada wartawan majalah Life, Roy Rowan, Lie menyatakan sumpahnya "menjalankan kapal ini untuk Tuhan, negara dan kemanusiaan." Cita-citanya hanya satu: mengubah Indonesia yang saat itu adalah hutan belantara, menjadi taman surga. Menurutnya, tugas mengubah Indonesia menjadi surga adalah takdir Tuhan untuknya.

Pada Desember 1966 Lie mengakhiri kariernya di TNI Angkatan Laut dengan pangkat terakhir Laksamana Muda. Sebelum itu, pada Agustus 1966 dia mengganti nama menjadi Jahja Daniel Dharma. Lie meninggal karena sakit pada 27 Agustus 1988.

Tahun 2009, 21 tahun setelah kematiannya, John Lie dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Gelar pahlawan nasional pertama bagi pejuang keturunan Cina.

diambil dan dikisahkan sepenuhnya dari http://id.berita.yahoo.com/john-lie--menyelundupkan-senjata-untuk-republik.html

Sabtu, 11 Juni 2011

Alehandro and Zenovia

Penampilannya tegap, leher lurus dan tebal, badan panjang, ekor lebat dan suaranya lantang. Paruhnya lengkung lancip, warna bulunya merah kecoklatan, dengan leher dan ekor berwarna kuning keemasan. Pemiliknya yang tidak lain Pak Dheku sendiri menamainya Alehandro.

Sebagai pecinta binatang, Pak Dhe merawat Alehandro dengan telaten. Selain pakan ayam pada umumnya, Alehandro juga diberi asupan gizi dari telur, madu dan jamu khusus yang diracik Pak Dhe sendiri. Tak hanya itu, setiap hari Alehandro juga menjalani perlakuan khusus. Pagi-pagi sekali dilap dengan air hangat, kemudian dijemur dari pagi hingga mentari agak tinggi. Sore hari diumbar, dibiarkan bebas sekitar dua atau tiga jam untuk kemudian dijantur (dipegang bulu ekornya dan diangkat sekitar setengah meter), semua itu dilakukan untuk menjaga fisik, stamina dan daya tahan Alehandro.

Maka, dengan semua perlakuan itu, jadilah Alehandro sebagai petarung yang tangguh lagi perkasa. Semua lawan dilibasnya, dia adalah jawara di dunianya. Dunia sabung ayam. Namanya sudah kesohor kemana-mana, bahkan, suatu kali, Bupati dari negeri seberang bertandang menantang. Tak ayal, waktu itu kalangan ramai sekali, penuh dengan warga desa yang berbondong-bondong menonton.

Dan saat itu Alehandro bertarung bak kesetanan. Ia bergerak sangat lincah, membuat lawannya bingung dan kehabisan tenaga. Saat lawan mulai lelah dia mulai permainannya. Serangan pertama, - saat lawan coba memukul dia berhasil menghindar, sedikit gerakan memutar, lalu dengan cepat melabrak dari samping, jebret !!, 1-0 untuk Alehandro. Namun lawannya membalas, sial bagi Alehandro, lehernya terkena pukulan lawan, sedikit berdarah, skor satu sama. Pukulan itu malah semakin membuat Alehandro bergairah, “lawanku kali ini tangguh juga”, pikirnya!!!, memaksanya untuk mengeluarkan seluruh kemampuan. Serangan kedua, - menggunakan tehnik kunci pukul, Alehandro berhasil menindih kepala dan leher lawannya, tehnik ini mengunci gerakan kepala lawan, dan kemudian dengan pukulan serong, Alehandro berhasil memukul leher lawannya, mengakibatkan leher lawannya bengkak dan berdarah. Skor 2-1 untuk Alehandro. Rupanya pukulan telak itu membuat lawannya ciut, sebaliknya Alehandro semakin percaya diri. Hingga akhirnya serangan ketiga, - menggunakan teknik pukulan dagu atau janggut. Sebelum melancarkan pukulan, Alehandro memainkan kepalanya di bawah leher lawan. Kemudian di bawah dagu lawan, ia melepaskan pukulan yang sangat keras, dengan tehnik ini kekuatan pukulan menjadi dua kali lipat karena momentum dari tenaga lawan yang bersiap memukul juga terlepas, jedarrr !!. Pukulan tersebut membuat lawan terdiam kaku, sebelum akhirnya jatuh terkapar, KO. Dan sorak sorai penonton riuh membahana. Alehandro mengepak-ngepakkan sayapnya kemudian berkokok panjang dan lantang. Rupanya Sang Bupati dari negeri seberang sangat terpesona dengan Alehandro, dan hendak menawarnya, Alehandro dihargai olehnya 35 juta (belakangan bupati ini terjerat kasus korupsi dan kabur ke Zimbabwe, hehehe). Pak Dhe tersanjung, namun karena sayangnya pada Alehandro. Tawaran tersebut ditolaknya.

Tidak hanya jantan di kalangan, Alehandro juga jantan di kandang. Alehandro sudah punya bini, seekor babon, Zenovia namanya, berdua mereka hidup bahagia dan dikaruniai empat ekor anak ayam yang lucu-lucu, 2 jantan, 2 betina. Sebenarnya Zenovia bertelur 12 butir, namun yang 6 butir sudah didadar oleh Bu Dhe. Nah dari enam yang dierami, menetaslah empat ekor itu.

Namun akhirnya, semua kebanggaan itu berakhir, kehebatan dan ketangguhan Alehandro hanyalah tinggal cerita. Alehandro mutung.

Usut punya cerita, sebab mutungnya Alehandro adalah sebagai berikut:
,,,jadi waktu itu, puteranya Pak Dhe yang masih SD, Nichola namanya, mau ada acara Maulid Nabi di sekolahnya. Sebagaimana yang sudah-sudah biasanya acara tersebut diisi dengan pengajian, kemudian diakhir acara setelah doa dari kyai, para siswa makan bersama-sama bekal yg dibawa sendiri-sendiri dari rumah. Jadi para siswa diwajibkan mbontot. Nah, masalahnya Nichola mau lauk yang enak dan cenderung mewah untuk bekalnya nanti. Malu ma teman-teman katanya (biasanya para murid saling berbagi lauk satu sama lain, dan bagi kami yang orang biasa dan hanya bisa makan tahu tempe sehari-hari, daging merupakan lauk yang tergolong mewah). Maka dari itu, sebagai seorang ayah yang sayang istri dan juga sayang anak, tak mau ia mengecewakan buah hatinya. Alhasil, disembelihlah Zenovia, dikuliti dan dimutilasi, kemudian Budhe membumbuinya dan jadilah opor. Waktu itu aku juga turut menikmatinya. Hmmmm YUMMY...

Namun, tak dinyana, eksekusi Pak Dhe tersebut berbuah petaka. Alehandro terluka hatinya, tak mau lagi ia bertarung, nafsu makannya turun, kokoknya tak seperti dulu. Sebenarnya Pak Dhe sudah berusaha memberikan pasangan baru untuk Alehandro, kita sebut saja Bunga. Tapi Alehandro tetap tak bergeming. Pak Dhe heran dengan perubahan piaraannya, masalah Alehandro turut membuatnya galau, tak habis pikir ia memikirkan Alehandro, sampai-sampai dalam tidur malamnya ia pun bermimpi bercakap-cakap dengan Alehandro.

Jadi percakapan antara Pak Dhe dan Alehandro kurang lebih begini:
Pak Dhe: “Le, kamu ini kenapa tho, kok jadi loyo kayak gini?”
Alehandro: “ampun Ndoro, hamba sudah tidak ada hasrat lagi untuk bertarung, semenjak kepergian Zenovia, separuh jiwaku pergi, Ndoro”
Pak Dhe: “Lah da lah, Le, piye tho, kan sudah kuganti yang baru, Bunga?, wis jan, bahkan menyentuhnya saja kau tidak mau”
Alehandro: “sebelumnya maturnuwun Ndoro, tapi maaf, hati ini cuma satu, sudah untuk mencintainya, Zenovia”
Pak Dhe: “Wis, mbuh terserah,, jadi kau benar-benar sudah tak mau bertarung lagi?”
Alehandro: “sudah kuputuskan Ndoro, hamba pensiun, gantung jalu, hamba ingin hidup damai ndoro”

Dan rupanya mimpi itu telah menyadarkan Pak Dhe, beliau merasa Tuhan telah menegurnya. Manusia tidak boleh semena-mena melukai sesama mahluk hanya untuk kesenangan sesaat. Pak Dhe kini sudah tak pernah menyabung ayam lagi, sebagaimana kicau burung dan kokok ayam yang merupakan lantunan puji-puji kepada Ilahi hidupnya kini dihiasi dengan dzikir dan doa.
***

Kemayoran 11-06-2011
Pamelih Wongsoatmojo